Intro

Apa itu efek Streisand?

Streisand Effect adalah fenomena ketika upaya menyembunyikan, menutupi, atau menyensor suatu informasi malah membuat informasi tersebut tersebar luas, biasanya dibantu internet. Nama ini berasal dari penyanyi Barbra Streisand yang pernah menggugat fotografer karena mengambil foto rumahnya, dan akibatnya foto itu menjadi viral.

Dalam konteks internet, semakin keras seseorang mencoba menghapus sesuatu, semakin besar kemungkinan hal itu diabadikan dan disebarluaskan oleh komunitas online.

Kronologi

Pada hari Kamis, 20 Februari 2025 band asal Purbalingga yaitu Sukatani mengupload video mengenai penarikan lagu mereka yang berjudul “Bayar Bayar Bayar” di akun sosmed mereka.

Lagu dengan nada satir ini menyuarakan kritik terhadap budaya pungli di institusi kepolisian. Namun, bukan isi lagunya saja yang membuat ramai, melainkan bagaimana lagu itu kemudian ditarik dari peredaran dan diikuti dengan permintaan maaf dari personel band—yang justru memicu efek sebaliknya. Fenomena ini merupakan contoh nyata dari apa yang disebut sebagai “Efek Streisand”.

Dalam unggahan itu, dua personil Sukatani, Muhammad Syifa Al Lufti a.k.a Alectroguy (gitaris) dan Novi Citra Indriyati a.k.a Twister Angel (vokalis) menyatakan permintaan maafnya kepada Kapolri dan institusi kepolisian.

Berikut merupakan video klarifikasinya (video ori sudah dihapus) Source: @narkosun (𝕏)

Lirik lagu “Bayar Bayar Bayar” yang ditarik dari peredaran:

Mau bikin SIM bayar polisi
Ketilang di jalan bayar polisi
Touring motor gede bayar polisi
Angkot mau ngetem bayar polisi

Aduh aduh ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi

Mau bikin gigs bayar polisi
Lapor barang hilang bayar polisi
Masuk ke penjara bayar polisi
Keluar penjara bayar polisi

Aduh aduh ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi

Mau korupsi bayar polisi
Mau gusur rumah bayar polisi
Mau babat hutan bayar polisi
Mau jadi polisi bayar polisi

Aduh aduh ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi

Analisis Efek Streisand dalam Kasus Ini

Nah itu dia contoh langsungnya, ketika lagu “Bayar Bayar Bayar” telah dihapus di platform seperti Spotify dan Apple Music saya masih bisa mendapatkan lagunya bahkan video klarifikasi yang telah dihapus oleh band Sukatani sendiri.

Alih-alih meredam kritik, penghapusan lagu dan video klarifikasi malah membuat publik makin penasaran. Lagu yang sebelumnya hanya diketahui oleh komunitas kecil penggemar musik indie, kini viral secara nasional. Cuplikan video, lirik lagu, hingga audio MP3-nya tersebar di media sosial, forum diskusi, bahkan diunggah ulang ke platform alternatif seperti SoundCloud, Telegram, dan bahkan banyak juga warganet membackup lagu tersebut di beberapa layanan cloud storage seperti Google Drive, Mega, OneDrive, dll.

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana internet bekerja melawan kontrol naratif. Semakin ditekan, semakin kuat daya sebarnya.

Upaya Penyensoran di Era Digital

Di era digital, penyensoran klasik menjadi senjata tumpul. Upaya menghapus konten dari satu platform hanya mendorong penyebaran di tempat lain. Kasus Sukatani bukan satu-satunya. Sebelumnya, video, lagu, atau konten politik yang dilarang sering kali justru mendulang lebih banyak penonton karena rasa ingin tahu masyarakat.

Internet memungkinkan siapa pun untuk menjadi “penyiar alternatif”. Sekali konten menyebar, hampir mustahil untuk benar-benar menghapusnya.

Jejak Digital dan Ingatan Kolektif

“Apa yang masuk ke internet, tak bisa dihapus” adalah adagium yang terus terbukti benar. Reaksi cepat warganet untuk mengarsipkan, membackup, dan menyebarkan ulang konten yang dirasa ‘dilarang’ mencerminkan munculnya kesadaran kolektif: bahwa kontrol atas informasi kini bukan lagi milik institusi, melainkan publik.

Kebebasan Berekspresi vs Risiko Hukum

Kasus ini menimbulkan pertanyaan penting: sampai sejauh mana seniman boleh mengkritik lewat karya? Apakah ekspresi satir harus selalu dibungkam bila menyentuh institusi negara? Dalam banyak demokrasi, kritik semacam ini dilindungi. Tapi di Indonesia, ruang berekspresi kerap dihadapkan pada risiko pelaporan, tekanan sosial, atau bahkan ancaman hukum.

Penutup

Selain itu, banyak kasus penyensoran pemerintah yang juga menunjukkan efek ini. Upaya pemerintah untuk menyensor informasi tertentu seringkali justru menyebabkan informasi tersebut menjadi lebih dikenal luas dan viral, hal ini karena orang-orang merasa tertarik untuk mencari tahu lebih lanjut.

Kasus Sukatani bukan hanya tentang lagu, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat merespons upaya kontrol informasi. Efek Streisand menjadi simbol bahwa publik tidak tinggal diam saat kebebasan berekspresi ditekan. Fenomena ini harus jadi refleksi—bagi seniman untuk terus bersuara, dan bagi institusi untuk membuka diri terhadap kritik, bukan membungkamnya.

Quote

Let us be clear: censorship is cowardice. … It masks corruption. It is a school of torture: it teaches, and accustoms one to the use of force against an idea, to submit thought to an alien “other.” But worst still, censorship destroys criticism, which is the essential ingredient of culture.

— Pablo Antonio Cuadra

Referensi


Psychology Streisand Effect